Tuesday, February 14, 2012

Penjaja Kuepun Berumroh, Subhanalloh…


Satu kenangan spesial yang tidak pernah dilupakan oleh salah seorang rekan saya asal Trenggalek, ketika berkunjung ke tempat saya beberapa tahun lalu, adalah suara seorang penjaja kue. Dua hari selama tamu saya ada di rumah, dua kali itu pula dia mendengarnya: "Jajaaannnn…… Jajaaaannnnnn……"
Entah berapa tahun sudah suara pedagang ini 'berkumandang', berkeliling setiap hari di perkampungan kami. Khas sekali suaranya. Perempuan itu dikenal masyarakat sebagai penjual jajan keliling. Satu keranjang kecil, ditaruh di atas kepalanya, piawai sekali. Mengenakan pakaian khas Jawa sederhana dengan kepala dililit kerudung, tiada sore terlewatkan tanpa kehadiran suara pedagang ini. Hujan pun bukan penghalang baginya. Pisang goreng misalnya, salah satu jajanan yang ditawarkan, menjadi favorit kami.
Sesekali, secara bergantian tangan kanan dan kirinya menahan keranjangnya, agar tidak jatuh. Menyusuri lorong-lorong perkampungan kecil, menghampiri rumah demi rumah pelanggan yang biasa membutuhkan snack sore, menemani minuman teh mereka. Aroma aneka jajanan yang ditawarkan, membuat orang tidak pernah melewatkan. Lepas sholat ashar, tanpa diundang, kue-kue hangat ini ibarat free delivery. Sang pedagang sepertinya sudah memiliki jadwal paten siapa gilirannya dan jam berapa mendapatkannya.
"Mbak Tin penjual kue", begitu kami memanggilnya. Dia telusuri hari-harinya, bersaing dengan pedagang-pedagang keliling lainnya. Ada yang menjajakan bakso, nasi goreng, rujak, bakpao, pangsit mie, soto ayam, dan pedagang lain yang menarik gerobak. Berbeda dengan Mbak Tin, pedagang-pedagang keliling ini rata-rata berasal dari luar perkampungan kami.
Mbak Tin tinggal di gubug reyot di pojokan kampung kami. Saya yakin, kalaupun pemerintah kota mengetahuinya di pinggir jalan, gubug ini jadi salah satu prioritas penggusuran karena 'mengganggu' pemandangan. Mbak Tin tinggal bersama seorang anak laki-lakinya. Adalah di luar pengetahuan saya tentang kapan dia ditinggal pergi oleh sang suami. Sejak tinggal di gubug tersebut, hanya mereka berdua yang kelihatan.
Alhamdulillah dagangannya selalu laris. Sebelum adzan maghrib tiba, ia sudah kembali ke rumahnya. "Mbak Tin...!" teriakku sore itu sekitar jam empat tiga puluh. Dia pun menoleh, mencari tahu dari mana arah suara tadi. "Masih ada pisang gorengnya, Mbak?" tanyaku, kepada orang yang usia sebenarnya tidak terpaut jauh dengan Ibuku. Tapi karena orang-orang semua memanggilnya Mbak Tin; jangankan saya, anak-anak TK saja memanggilnya dengan sebutan 'Mbak'. "Maaf Mas, sudah habis. Singkong gorengnya masih!" tawarnya. "Iya deh!" jawabku.
Mbak Tin terkenal ramah. Orang-orang senang sekali kepadanya. Terkadang kualitas sebuah produk menjadi prioritas kedua seorang customer. Sebaliknya, pelayanan yang baik dan ramah menduduki posisi satu tingkat di atasnya. Itu semua diajarkan dalam Islam. Bahwa bukankah ucapan salam dan senyuman juga ibadah yang membawa berkah? Itulah rumus yang diaplikasikan oleh Mak Tin, seorang ibu sederhana penjual jajan yang tidak pernah melupakan salam dan hamdalah dalam keseharian bisnis kecilnya.
Sebenarnya, bukan karena keramahan dan kesupelannya saja yang mendorong orang-orang di kampung kami untuk membeli dagangannya. Kelebihan lain yang dimiliki ibu satu anak ini adalah keterampilan mengajari Al-Qur'an. Dibandingkan dengan kami, orang-orang kebanyakan, Mbak Tin beruntung dalam masalah ini. Makanya orang-orang di kampung mempercayakan anak-anak mereka untuk diajar membaca Al-Qur'an oleh Mbak Tin.
Setiap sore, lepas maghrib, Mbak Tin mengajari anak-anak membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kadang di surau, tidak jarang di rumahnya sendiri. Dengan fasilitas bentangan tikar yang sudah kusam, anak-anak duduk di lantai, mendengarkan: Alif, ba, ta, tsa… begitulah seterusnya. Proses belajar mengajar di 'forum' yang jauh dari sentuhan konsep para ahli pendidikan maupun sarana teknologi canggih ini berlangsung terus-menerus.
Buahnya, kita tidak pernah menyangka, bahwa perubahan moral kerohanian yang dihasilkan dari sumbangsih perempuan penjual jajan ini bisa saja lebih besar ketimbang itu semua. Anak-anak kampung yang kini sudah besar dan 'bertebaran' di bumi Allah, secara tidak langsung telah menikmati dan mengamalkan sebagian 'ajarannya'. Karena jasa Mbak Tin mereka pandai membaca Al-Qur'an, sekalipun kini ada yang duduk di IAIN.
Sementara banyak anak didiknya yang tinggal di rumah-rumah yang laik, guru 'madarasah' kecil ini tetap istiqomah di gubug yang sudah hampir ambruk.
Selama bertahun-tahun, Mbak Tin telah memanfaatkan 'madarasah' ala kadarnya guna melestarikan 'Kalam Ilahi' dalam benak calon-calon generasi mendatang. Selama itu pula, sayangnya, orang-orang di perkampungan kami tidak ada yang tergerak untuk memberikan uluran tangannya guna memperbaiki 'madarasah' nya. Hingga suatu hari, atas inisiatifnya sendiri, Mbak Tin berkunjung ke rumah Pak Ahmad, seorang pedagang barang-barang bangunan di sudut jalan yang dikenal sebagai satu-satunya orang pemelihara masjid di lingkungan kami.
"Pak Haji!" katanya. "Ini saya serahkan uang tabungan saya bertahun-tahun, sepuluh juta rupiah, saya minta bantuan Bapak untuk menggunakan uang ini buat memperbaiki rumah saya yang sudah reyot!" Mendengar permohonannya, Pak Haji Ahmad baru tersentuh. Sadar bahwa selama ini beliau merasa kurang perhatian terhadap kebutuhan Guru Mengaji ini.
"Baiklah!" jawab Pak Ahmad. Hari itu juga, Pak Ahmad memulai kalkulasi bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan. Permintaan Mbak Tin yang semula hanya memperbaiki bagian rumah yang rusak, oleh Pak Haji bangunan dirobohkan secara keseluruhan. Kemudian dibangunnya rumah baru. Kelebihan dana yang dikeluarkan untuk mendirikan bangunan baru tersebut seluruhnya dipikul oleh Pak Haji. Subhanallah. Rumah Mbak Tin yang semula terjelek di perkampungan itu, kini nampak cantik sekali. Bahkan paling baik kondisinya dibandingkan rumah-rumah di sebelahnya.
"Mbak Tin tidak usah memikirkan berapa sisa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bangunan ini. Saya ikhlas!" Kata Pak Ahmad suatu hari ketika Mbak Tin menanyakan jumlah uang yang dikeluarkan untuk memperbaiki rumahnya. Mbak Tin sadar, bahwa uang yang diserahkan Pak Ahmad, jauh dari cukup untuk merampungkannya.
Tidak haya sampai di situ kebahagiaan yang dialami Mbak Tin. Selama bertahun-tahun mengajar anak-anak mengaji, ternyata ada pula seseorang yang memperhatikan dari 'jauh'. Seorang dermawan yag ingin agar ustadzah ini berkesempatan melihat Baitullah dari dekat. Rumah Allah. Tempat ibadah yang didambakan semua umat Islam.
Betapa bersyukurnya Mbak Tin mendengar berita ini. Mungkin ia berpikir, mana mungkin seorang penjual jajan pasar mampu membiayai perjalanan ke Masjidil Haram. Seumur hidup pun kalau dia mau menabung, di jaman sekarang ini, tidak bakal tertutupi biayanya. Apalagi kebutuhan terhadap kondisi rumahnya juga membutuhkan penanganan segera.
Namun di tengah segala kesulitan yang dialaminya, rupanya Allah SWT memberikan kemudahan. Tidak ada orang yang akan pernah menyangka bahwa Mbak Tin bakal berkunjung ke Mekah. Melaksanakan ibadah umroh.
Hari ini, tanggal dua puluh enam April, tahun dua ribu lima, Guru Mengaji di kampung kami, Mbak Tin, berkemas-kemas menuju bandara. Puluhan orang, termasuk bekas anak-anak didiknya, memadati rumahnya. Sebagian besar mereka meneteskan air mata, terharu mengingat besarnya jasa perempuan penjaja pisang goreng itu selama ini. Mengingat betapa Allah Mahabijaksana, memberangkatkan kaum papa seperti dia.  Bertahun-tahun sudah dia baktikan hidupnya untuk sebuah kepentingan yang jarang dilirik orang sebagai suatu prestasi. Apalagi sebuah karir ! Hari ini, Allah SWT telah melengkapi kebahagianya. Selamat menempuh perjalanan ke Baitullah Mbak Tin !

No comments:

Post a Comment