Wednesday, March 7, 2012

doa anak sholeh

Dalam agama Islam diajarkan bahwa ada tiga amalan yang akan terus mengalir pahalanya walau pemiliknya telah tinggalkan dunia fana yaitu ;
1.ilmu yang bermanfaat
2.amal jariyah dan
3.doa anak sholeh
Ini bermakna bahwa orang tua diminta untuk mendidik anaknya agar menjadi anak yang sholeh yang kelak diharapkan akan terus mendoakan orang tuanya. Pesan dari ajaran tersebut adalah pesan tentang pendidikan, pendidikan kepada anak, yang ganjarannya begitu menggiurkan karena pahalanya akan terus mengalir meski kita sudah meninggal.

Ada sebuah doa yang dikenal dengan nama ‘Doa Anak Sholeh’ dan yang diajarkan oleh hampir semua orang tua muslim kepada anak-anak mereka dengan harapan agar anak-anak mereka mau mendoakan mereka dengan doa ini. Begini bunyinya :
“ROBBIGHFIRLII WALIWAALIDAYYA WARHAMHUMAA KAMAA ROBBAYAANII SHOGHIIROO”
Artinya dalam Bahasa Indonesia : “ Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah ibuku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil ”
Doa ini begitu populernya sehingga hampir semua anak di sekolah hafal dengan doa ini. Doa ini juga cukup pendek dan sangat mudah dihafalkan oleh anak-anak. Dalam jangka waktu singkat anak balita bisa mengingat dan menghafalnya. Akan sungguh mengggemaskan jika kita mendengar anak balita yang masih cedal membacakan doa ini. Kalau anak kita bisa membaca doa ini rasanya hati orang tua langsung ‘mak nyes’, adem dan bahagia!
Meski kita berusaha mengajarkan doa ini kepada anak-anak kita, pernahkah kita benar-benar memperhatikan dan memahami makna dari doa ini? Sebagai seorang pendidik saya sungguh takjub dengan pesan yang hendak disampaikan oleh doa ini. Coba perhatikan kalimatnya baik-baik dan pikirkan mengapa doanya seperti itu. Mengapa anak-anak kita diminta untuk berdoa agar orang tuanya disayangi ‘sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil’? Mengapa redaksinya bukan ‘sebagaimana mereka menyayangiku selama ini’, umpamanya. Mengapa justru ditekankan ‘sewaktu aku masih kecil’? Apakah doa ini hanya berlaku bagi anak yang masih kecil saja dan jika sudah lebih dewasa maka redaksinya akan diubah menjadi. :”Sewaktu aku ABG, atau sewaktu dewasa’, umpamanya? Tidak. Doa itu redaksinya tidak berubah redaksinya meski kita mendoakan orang tua kita ketika kita sendiri telah tua. Redaksinya tidak berubah dan tidak perlu diubah.
Lantas mengapa begitu redaksinya?
Menurut saya, doa ini mengandung pesan pendidikan yang sungguh dalam bagi para orang tua. Jadi sebenarnya doa ini memang pesannya UNTUK ORANG TUA dan bukan untuk si anak. Melalui doa ini terkandung pesan untuk meminta agar orang tua mendidik dan menyayangi anaknya dengan sebaik-baiknya, khususnya SEWAKTU KECIL. Para orang tua diminta untuk mencurahkan kasih sayangnya sepenuh-penuhnya kepada anaknya sewaktu kecil karena sewaktu kecil itulah anak-anak kita membutuhkan kasih sayang yang tak terhingga sebagai bekal bagi mereka mengarungi hidup sewaktu besar nantinya. Dengan kasih sayang yang berlimpah dan pendidikan yang baik pada waktu kecil (bukan berarti memanjakannya) maka sang anak akan punya fondasi mental dan spiritual yang kuat dalam menghadapi hidup mereka di masa dewasa nantinya. Dengan doa ini seolah hendak dikatakan kepada para orang tua,:”Wahai para orang tua, sayangilah anak-anakmu sebaik-baiknya pada saat mereka masih kecil. Berikan semua yang terbaik darimu kepada anak-anakmu ketika mereka masih kecil. Janganlah sampai mereka mendapati hal yang buruk dan tidak baik darimu ketika mereka masih kecil. Janganlah sampai engkau menunjukkan sikap kasar, keras dan kejammu pada anakmu waktu masih kecil karena Tuhanmu akan mengganjarmu sesuai dengan perbuatanmu pada anakmu ketika masih kecil (dan bukan pada masa yang lain)”
Secara alami orang tua memang sangat menyayangi anak-anak mereka ketika masih kecil. Itu masa-masa ketika orang tua sangat menyayangi dan melindungi anak-anak mereka. Mereka melimpahinya dengan berbagai pujian dan hadiah. Pelukan dan ciuman datang tak henti-hentinya. Kata-kata lembut dan panggilan sayang berhamburan. Rasanya apa saja yang diminta oleh anak sewaktu ia masih kecil segera dituruti dan diusahakan dengan sungguh-sungguh. Para orang tua biasanya menolerir semua kesalahan anak-anak mereka dan tidak marah meskipun anak memecahkan barang orang tua yang paling disayangi.
Hal ini tentu berbeda dengan ketika anak sudah cukup besar. Pada saat itu orang tua sudah mulai kurang toleran. Pujian semakin berkurang dan hukuman semakin banyak. Raut muka dan tutur kata sudah mulai berubah. Pendek kata kasih sayang orang tua sudah berbeda dengan ketika anak masih kecil. Itulah sebabnya doa tersebut menyebutkan secara spesifik WAKTU TERINDAH dalam hubungan anak dan orang tua, yaitu ‘sewaktu masih kecil’. Orang tua akan dimintakan ganjaran kepada Tuhan pengampunan dosa dan balasan kasih sayang yang terbaik dari Allah sebagaimana mereka melakukan hal yang terbaik kepada anak mereka sewaktu mereka masih kecil.
Jadi dengan redaksi doa itu kita sebenarnya diminta untuk menyayangi anak-anak kita ‘habis-habisan’ ketika mereka masih kecil karena upaya kita pada saat itulah yang akan menjadi perhitungan untuk balasannya dari Allah kelak. Hal itu juga sesuai dengan kebutuhan anak yang memerlukan kasih sayang yang berlimpah ketika masih kecil karena mereka benar-benar masih sangat bergantung pada orang tua pada saat itu. Hal itu juga sesuai dengan fitrahnya orang tua yang masih benar-benar ‘all-out’ dalam menyayangi anaknya ketika masih kecil. Doa itu memang mengandung pesan pendidikan luar biasa!
Jadi jika Anda masih punya anak kecil yang akan Anda jari doa tersebut jangan lupa bahwa doa itu sebenarnya pesan dari Tuhan kepada Anda. Berikan yang terbaik dan terindah dari Anda kepada anak-anak Anda yang masih kecil tersebut. Dengan demikian doa mereka akan sungguh-sungguh dan menghasilkan buah pahala yang tidak putus-putusnya.

Tuesday, February 14, 2012

Penjaja Kuepun Berumroh, Subhanalloh…


Satu kenangan spesial yang tidak pernah dilupakan oleh salah seorang rekan saya asal Trenggalek, ketika berkunjung ke tempat saya beberapa tahun lalu, adalah suara seorang penjaja kue. Dua hari selama tamu saya ada di rumah, dua kali itu pula dia mendengarnya: "Jajaaannnn…… Jajaaaannnnnn……"
Entah berapa tahun sudah suara pedagang ini 'berkumandang', berkeliling setiap hari di perkampungan kami. Khas sekali suaranya. Perempuan itu dikenal masyarakat sebagai penjual jajan keliling. Satu keranjang kecil, ditaruh di atas kepalanya, piawai sekali. Mengenakan pakaian khas Jawa sederhana dengan kepala dililit kerudung, tiada sore terlewatkan tanpa kehadiran suara pedagang ini. Hujan pun bukan penghalang baginya. Pisang goreng misalnya, salah satu jajanan yang ditawarkan, menjadi favorit kami.
Sesekali, secara bergantian tangan kanan dan kirinya menahan keranjangnya, agar tidak jatuh. Menyusuri lorong-lorong perkampungan kecil, menghampiri rumah demi rumah pelanggan yang biasa membutuhkan snack sore, menemani minuman teh mereka. Aroma aneka jajanan yang ditawarkan, membuat orang tidak pernah melewatkan. Lepas sholat ashar, tanpa diundang, kue-kue hangat ini ibarat free delivery. Sang pedagang sepertinya sudah memiliki jadwal paten siapa gilirannya dan jam berapa mendapatkannya.
"Mbak Tin penjual kue", begitu kami memanggilnya. Dia telusuri hari-harinya, bersaing dengan pedagang-pedagang keliling lainnya. Ada yang menjajakan bakso, nasi goreng, rujak, bakpao, pangsit mie, soto ayam, dan pedagang lain yang menarik gerobak. Berbeda dengan Mbak Tin, pedagang-pedagang keliling ini rata-rata berasal dari luar perkampungan kami.
Mbak Tin tinggal di gubug reyot di pojokan kampung kami. Saya yakin, kalaupun pemerintah kota mengetahuinya di pinggir jalan, gubug ini jadi salah satu prioritas penggusuran karena 'mengganggu' pemandangan. Mbak Tin tinggal bersama seorang anak laki-lakinya. Adalah di luar pengetahuan saya tentang kapan dia ditinggal pergi oleh sang suami. Sejak tinggal di gubug tersebut, hanya mereka berdua yang kelihatan.
Alhamdulillah dagangannya selalu laris. Sebelum adzan maghrib tiba, ia sudah kembali ke rumahnya. "Mbak Tin...!" teriakku sore itu sekitar jam empat tiga puluh. Dia pun menoleh, mencari tahu dari mana arah suara tadi. "Masih ada pisang gorengnya, Mbak?" tanyaku, kepada orang yang usia sebenarnya tidak terpaut jauh dengan Ibuku. Tapi karena orang-orang semua memanggilnya Mbak Tin; jangankan saya, anak-anak TK saja memanggilnya dengan sebutan 'Mbak'. "Maaf Mas, sudah habis. Singkong gorengnya masih!" tawarnya. "Iya deh!" jawabku.
Mbak Tin terkenal ramah. Orang-orang senang sekali kepadanya. Terkadang kualitas sebuah produk menjadi prioritas kedua seorang customer. Sebaliknya, pelayanan yang baik dan ramah menduduki posisi satu tingkat di atasnya. Itu semua diajarkan dalam Islam. Bahwa bukankah ucapan salam dan senyuman juga ibadah yang membawa berkah? Itulah rumus yang diaplikasikan oleh Mak Tin, seorang ibu sederhana penjual jajan yang tidak pernah melupakan salam dan hamdalah dalam keseharian bisnis kecilnya.
Sebenarnya, bukan karena keramahan dan kesupelannya saja yang mendorong orang-orang di kampung kami untuk membeli dagangannya. Kelebihan lain yang dimiliki ibu satu anak ini adalah keterampilan mengajari Al-Qur'an. Dibandingkan dengan kami, orang-orang kebanyakan, Mbak Tin beruntung dalam masalah ini. Makanya orang-orang di kampung mempercayakan anak-anak mereka untuk diajar membaca Al-Qur'an oleh Mbak Tin.
Setiap sore, lepas maghrib, Mbak Tin mengajari anak-anak membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kadang di surau, tidak jarang di rumahnya sendiri. Dengan fasilitas bentangan tikar yang sudah kusam, anak-anak duduk di lantai, mendengarkan: Alif, ba, ta, tsa… begitulah seterusnya. Proses belajar mengajar di 'forum' yang jauh dari sentuhan konsep para ahli pendidikan maupun sarana teknologi canggih ini berlangsung terus-menerus.
Buahnya, kita tidak pernah menyangka, bahwa perubahan moral kerohanian yang dihasilkan dari sumbangsih perempuan penjual jajan ini bisa saja lebih besar ketimbang itu semua. Anak-anak kampung yang kini sudah besar dan 'bertebaran' di bumi Allah, secara tidak langsung telah menikmati dan mengamalkan sebagian 'ajarannya'. Karena jasa Mbak Tin mereka pandai membaca Al-Qur'an, sekalipun kini ada yang duduk di IAIN.
Sementara banyak anak didiknya yang tinggal di rumah-rumah yang laik, guru 'madarasah' kecil ini tetap istiqomah di gubug yang sudah hampir ambruk.
Selama bertahun-tahun, Mbak Tin telah memanfaatkan 'madarasah' ala kadarnya guna melestarikan 'Kalam Ilahi' dalam benak calon-calon generasi mendatang. Selama itu pula, sayangnya, orang-orang di perkampungan kami tidak ada yang tergerak untuk memberikan uluran tangannya guna memperbaiki 'madarasah' nya. Hingga suatu hari, atas inisiatifnya sendiri, Mbak Tin berkunjung ke rumah Pak Ahmad, seorang pedagang barang-barang bangunan di sudut jalan yang dikenal sebagai satu-satunya orang pemelihara masjid di lingkungan kami.
"Pak Haji!" katanya. "Ini saya serahkan uang tabungan saya bertahun-tahun, sepuluh juta rupiah, saya minta bantuan Bapak untuk menggunakan uang ini buat memperbaiki rumah saya yang sudah reyot!" Mendengar permohonannya, Pak Haji Ahmad baru tersentuh. Sadar bahwa selama ini beliau merasa kurang perhatian terhadap kebutuhan Guru Mengaji ini.
"Baiklah!" jawab Pak Ahmad. Hari itu juga, Pak Ahmad memulai kalkulasi bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan. Permintaan Mbak Tin yang semula hanya memperbaiki bagian rumah yang rusak, oleh Pak Haji bangunan dirobohkan secara keseluruhan. Kemudian dibangunnya rumah baru. Kelebihan dana yang dikeluarkan untuk mendirikan bangunan baru tersebut seluruhnya dipikul oleh Pak Haji. Subhanallah. Rumah Mbak Tin yang semula terjelek di perkampungan itu, kini nampak cantik sekali. Bahkan paling baik kondisinya dibandingkan rumah-rumah di sebelahnya.
"Mbak Tin tidak usah memikirkan berapa sisa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bangunan ini. Saya ikhlas!" Kata Pak Ahmad suatu hari ketika Mbak Tin menanyakan jumlah uang yang dikeluarkan untuk memperbaiki rumahnya. Mbak Tin sadar, bahwa uang yang diserahkan Pak Ahmad, jauh dari cukup untuk merampungkannya.
Tidak haya sampai di situ kebahagiaan yang dialami Mbak Tin. Selama bertahun-tahun mengajar anak-anak mengaji, ternyata ada pula seseorang yang memperhatikan dari 'jauh'. Seorang dermawan yag ingin agar ustadzah ini berkesempatan melihat Baitullah dari dekat. Rumah Allah. Tempat ibadah yang didambakan semua umat Islam.
Betapa bersyukurnya Mbak Tin mendengar berita ini. Mungkin ia berpikir, mana mungkin seorang penjual jajan pasar mampu membiayai perjalanan ke Masjidil Haram. Seumur hidup pun kalau dia mau menabung, di jaman sekarang ini, tidak bakal tertutupi biayanya. Apalagi kebutuhan terhadap kondisi rumahnya juga membutuhkan penanganan segera.
Namun di tengah segala kesulitan yang dialaminya, rupanya Allah SWT memberikan kemudahan. Tidak ada orang yang akan pernah menyangka bahwa Mbak Tin bakal berkunjung ke Mekah. Melaksanakan ibadah umroh.
Hari ini, tanggal dua puluh enam April, tahun dua ribu lima, Guru Mengaji di kampung kami, Mbak Tin, berkemas-kemas menuju bandara. Puluhan orang, termasuk bekas anak-anak didiknya, memadati rumahnya. Sebagian besar mereka meneteskan air mata, terharu mengingat besarnya jasa perempuan penjaja pisang goreng itu selama ini. Mengingat betapa Allah Mahabijaksana, memberangkatkan kaum papa seperti dia.  Bertahun-tahun sudah dia baktikan hidupnya untuk sebuah kepentingan yang jarang dilirik orang sebagai suatu prestasi. Apalagi sebuah karir ! Hari ini, Allah SWT telah melengkapi kebahagianya. Selamat menempuh perjalanan ke Baitullah Mbak Tin !

Ketabahan seorang Ibu


Satu hal yang paling bisa membuat saya menangis hari ini –masa di mana saya sudah beranjak dewasa dan harus berpisah dengan keluarga– adalah saat saya teringat ibu. Ingat akan wajah lembutnya, senyum manisnya, kelembutan tuturnya, dan segenap nasihatnya selalu mampu menjadi penentu setiap keputusan saya. Seolah ada reminder ajaib dari ibu. Sehingga setiap saya ingin berbuat sesuatu, selalu ibu yang terbayang lebih dahulu.
Apakah yang akan saya lakukan disukai ibu atau apakah ini akan membuat ibu senang selalu menjadi pertimbangan bagi saya. Di lain kesempatan, jika saya memperoleh sesuatu yang menyenangkan, maka saya akan berkata “Ini saya persembahkan untuk ibu”. Saya meyakini perasaan ini tidak hanya saya yang merasakannya.
Setiap anak tentu tidak akan memungkiri betapa peran ibu mempunyai porsi terbesar dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Bagaimana tidak? Ruh seorang anak dititipkan Allah melalui rahim ibu. Sembilan bulan sepuluh hari ia berbagi makanan, cairan, dan suplemen tubuh lainnya dengan ibu. Bahkan setiap apa yang dikonsumsi ibu saat hamil bisa dipastikan adalah untuk janin di rahimnya. Pada masa itu banyak penderitaan yang dialami ibu. Sulit makan di awal-awal kehamilan, membenci sesuatu yang paling disukai saat tidak hamil, sulit bergerak, belum lagi maturational crisis (krisis pada masa hamil ) yang harus dialami.
Saat melahirkan sang bayi, ibu bahkan harus mempertaruhkan nyawanya. Tidak sedikit ibu yang meninggal saat melahirkan. Kemudian dimulailah masa-masa radikal dalam kehidupan anak. Saat anak hanya mampu berkomunikasi dengan tangisan, ocehan-ocehan yang mungkin hanya ibu yang memahaminya, gerakan tangan, tendangan kaki, dan genggaman jari. Begitu lambatnya pertumbuhan kita namun begitu sabarnya ibu mengurus kita. Makan melalui mulut, berbicara, berjalan, semuanya harus dipelajari. Bukankah ibu yang mempunyai peran terbesar dalam tahapan itu?
Kita tumbuh menjadi anak-anak yang lincah dan cenderung nakal. Aktif dan selalu ingin bermain. Ibu dengan sabarnya menemani kita kendati harus letih mengejar kita, melompat, dan memanjat bersama kita. Ia dampingi tahapan-tahapan penting dalam pertumbuhan kita dengan senyum dan harapan indah akan masa depan cerah kita. Ibu tanamkan aqidah dan akhlaq. Apa yang saat dewasa kita anggap benar, laik dan sesuai norma, bukankan kebanyakan merupakan apa yang ibu tanamkan ketika kecil?
Ketika kita sakit, ibu adalah orang yang paling panik. Ketika kita nakal, ibu adalah orang yang paling sedih. Ketika kita berhasil, ibu adalah orang yang paling bahagia. Yakinilah itu !
Saat kita beranjak remaja, masa yang penuh dengan kelabilan dan gejolak itu menjadi aman dengan ibu di sisi kita. Ibu mampu menjadi teman cerita yang begitu setia. Ibu bisa menjadi solusi dari persolan rumit akibat keegoan dunia remaja kita.
Seorang ibu tidak akan pernah menuntut balas semua pemberiannya kepada anak-anaknya. Hanya saja, apakah kemudian anak-anak juga tidak menyadari peranan ibu tersebut ?
Setelah dewasa anak-anak mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Berjuang sekuat tenaga untuk mengembangkan karir dan mengukir kesuksesan. Sementara itu, ada ibu yang beranjak tua dan mulai lemah.
Wahai kita, para anak. Laikkah jika kemudian ibu kita tempatkan di panti wreda ? Menghabiskan sisa-sisa kehidupannya dan menanti mautnya dalam kesendirian ? Membiarkan mimpi-mimpi untuk melihat anaknya berhasil, menyaksikan dan membersamainya, pupus dan harus terkikis habis di panti jompo lantaran anak-anak sibuk dan tidak sempat mengurusnya. Setelah begitu panjang dan beratnya perjuangan ibu mengurus kita saat kecil dulu ? Padahal, diriwayatkan seorang laki-laki datang kepada Nabi saw seraya bertanya tentang orang yang paling laik ditemani. Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” “Ibumu,” jawab Nabi. “Kemudian siapa lagi?” tanya lelaki itu. “Ibumu,” jawab Nabi. “Kemudian siapa lagi?” Rasul menjawab, “Kemudian ayahmu.”
Sungguh... Ibu pun butuh cinta dari kita, anak-anaknya. Wallahua’lam.
Untuk para nenek di panti Wreda Pakem, semoga senantiasa dalam perlindungan ALL


AHOleh Miftahul Jannah

Air Mata Rasulullah


Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.
lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum -peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?"-"Umatku, umatku, umatku"
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik alaaa wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
NB:
Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai kita.
Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka. Amin... Usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangimu di dunia tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihmu diakhirat.